Prilaku Politik Memilih Pada Pemilihan Umum di Indonesia

Deden Kurniawan, Jurnalis Kabupaten Lebak. (Foto/Deni).

Pemilihan umum adalah cara yang terkuat bagi warga Negara untuk berpartisipasi di dalam sistem demokrasi perwakilan modern. Sebuah instrumen yang diperlukan bagi partisipasi ialah sistem pemilu. Jika sistem ini tidak memperbolehkan warga Negara untuk menyatakan pilihan-pilihan dan preferensi politik mereka, maka pemilu seperti ini bisa menjadi pemilu yang tidak bermakna.

Pemilihan umum merupakan sarana penting untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan negara. Pemilihan umum diikuti oleh partai-partai politik. Partai-partai politik mewakili kepentingan spesifik warga Negara. Kepentingan-kepentingan seperti nilai-nilai agama, keadilan, kesejahteraan, nasionalisme, antikorupsi, dan sejenisnya kerap dibawakan partai politik tatkala mereka berkampanye. Sebab itu, sistem pemilihan umum yang baik adalah sistem yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda di tingkat masyarakat, agar terwakili dalam proses pembuatan kebijakan Negara di parlemen.
Proses penyelenggaraan pemilu dalam UU yang mengatur pemilu sesuai dengan empat (4) Parameter proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis yaitu; (1) Tersedianya kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi; (2) Memungkinkan setiap pemilih dapat menentukan pilihannya tanpa adanya intimidasi; (3) Mampu menyediakan mekanisme dimana partai-partai berkompetesi secara sehat dan fair, (4) Mengadakan pemilu sebagai sarana damai untuk mengadakan suatu perubahan.

Masyarakat Indonesia menentukan pilihan biasanya bersifat inisiatif dari kesadarannnya sendiri ataukah semuanya lebih banyak ditentukan oleh pentrasi pemimpin dan pejabat yang mempunyai pengaruh dan mempengaruhi tingkahlaku politiknya. Adanya keraguan dalam masyarakat ini bahwa partisipasi politik saat ini cenderung bersifat atas kesadaran diri sendiri atau justru merupakan aktifitas politik yang di mobilisir oleh elit politik yang bertujuan untuk melanggengkan tujuan yang dicapainya.

Menganalisa perilaku memilih yang ada di Indonesia, kebanyakan orang menggunakan dua mazhab dalam pendekatannya, yaitu mazhab Colombia (dikenal dengan pendekatan sosiologi) dan mazhab Michigan (dikenal dengan pendekatan psikologis). Ilmuan Indonesia sendiri affan gaffer dan J. Critidi yang dikenal sebagai ilmuan politik mencoba menganalisa hal tersebut dengan menggabungkan kedua mazhab pada penjelasan sebelumnya dan menganalisisa tingkahlaku politik dan memilih pada wilayah yang homogen. Menurutnya pendekatan sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal yang berkaitan dengan instrumen kemasyarakatan seseorang seperti, status sosio-ekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan dan kelas), agama, etnik, bahkan wilayah tempat tinggal (kota, desa, pesisir ataupun pedalaman). Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan psikologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa perilaku pemilih sangat bergantung pada sosialisasi politik lingkungan yang menyelimuti diri pemilih. Dalam konteks pilihan rasional, ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan memilih partai atau kandidat yang tengah berkompetisi, ia tidak akan melakukan pilihan pada pemilu (down 1957:261). Hal ini dilandaskan pada kalkulasi ekonomi, dimana perhitungan biaya yang dikeluakan lebih besar dengan apa yang akan didapatnya kelak. Maka jalan terbaik bagi pemilih adalah melakukan kegiatan atau aktifitas kesehariannya.

Melihat kondisi yang ada pada bangsa Indonesia adalah apakah ketiga aliran pendekatan tersebut (psikologis, sosiologis, dan rasional/ekonomi) dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Indonesia. Sebab, penerapan pendekata-pendekatan tersebut di negara-negara dimana studi dilakukan masih juga memiliki bagian keterbatasan dan kelemahan. Terlebih lagi kalau pendekatan tersebut diterapkan dalam sistem sosial, politik, budaya yang berbeda seperti di Indonesia. Implementasi pendekatan-pendekatan tersebut untuk memahami perilaku pemilih di Indonesia tampaknya kurang memuaskan. Hal ini disebabkan antara lain, konsep kelas dalam masyarakat Indonesia berbeda dengan konsep kelas dalam masyarakat barat yang sangat dipengaruhi oleh paham Marx dan Weber, dalam artian masyarakat dibagi menjadi kelas-kelas menurut kreteria ekonomi, dimana masing-masing kelas membentuk kelompok, antara lain partai politik untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingannya. Oleh karena itu, sejarah perkembangan partai politik di negara barat seperti yang dinyatakan oleh deverger, (dalam amal,ed.1988) menunjukkan adanya hubungan antara kesejahteraan ekonomi akibat revolusi industri dan tumbuhnya pengelompokan masyarakat, antara lain partai politik, yang menjadi penghubung antara struktur sosial pluralistik dan pemerintah.

Pendekatan psikologis yang menitiberatkan pada identifikasi kepartaian, khususnya sikap seseorang terhadap isu politik seorang kandidat maupun anggota parlemen adalah variabel-variabel yang bagi masyarakat Indonesia yang kurang relevan. Sebagian aspek dari pendekatan psikologis yang dapat digunakan, yakni identifikasi kepartaian, meskipun secara tidak langsung, artinya, konsep identifikasi kepartaian masyarakat akan ditelusuri melalui proses sosialisasi politik dan identifikasi kepartaian pimpinan masyaraktnya. Pendekatan ekonomi atau rasional tampaknya akan lebih sulit diterapkan dibanding sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya memahami pemilu sebagai salah satu mata rantai proses pengambilan keputusan, yang antara lain berupa kebijakan yang secara subjektif dapat dianggap merugikan atau menguntungan anggota masyarakat. Kurang pahamnya masyarakat dalam memahami dan menilai kebijakan politik, tidak memungkinkan menjelaskan perilaku politik dengan pendekatan ini, kecuali pendekatan ini dilakukan pada kelompok masyarakat kota dan kelompok masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan yang cukup tinggi.

Melimpahnya informasi dan pesan politik menjelang kampanye pemilihan umum menyulitkan pemilih untuk mengolah dan menganalisisnya. Disamping itu, informasi yang tersedia sering sekali bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Hal ini bisa diakibatkan oleh teknik manipulasi politik untuk menyudutkan lawan politik, janji-janji politik, penggunaan konsep dan bahasa yang rumit serta pesan propaganda di satu sisi, sedangkan di sisi lain para pemilihnya mengidap keterbatasan kognitif (Bounded Rational) (Simon,1960).

Jika dilihat pemilih perkotaan, bisa jadi bahwa perilaku pemilih sangatlah rasional, terutama apabila dilihat dari tingkat pendidikan pemilih, mereka tidak ingin memilih calon yang tidak mempunyai visi, misi dan program yang jelas, tetapi juga masyarakat tidak mau memilih calon yang banyak mengeluarkan uang hanya untuk berkampanye. Khusus para pemilih di daerah non-perkotaan, tingkat pendidikan menengah atau bahkan rendah, misalnya perilaku rasional kembali bergeser pada perilaku pemilih yang tradisional atau bahkan emosional. Sebagai contoh, seorang pemilih akan memilih kepala daerah karena kebetulan calon berkeyakinan agama sama dengannya, ataupun satu jenis kelamin (khusunya untuk calon kepala daerah yang perempuan), atau sang kandidat satu daerah Kecamatan/kabupaten/kota) dengan calon dan pelbagai macam variabel lainnya, yang boleh jadi semua ini menihilkan program yang tawarkan.

Berdasarkan pemaparan, maka ada beberapa catatan penting yaitu: pertama, pendekatan sosialogis dapat dipergunakan untuk meneliti yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu; pimpinan dan anggota masyarakat serta sifat hubungan antara kedua kelompok tersebut. Selain itu, aspek tingkat pendidikan, jenis profesi, dan tempat tinggal, merupakan aspek-aspek pendekatan psikologis yang dapat membentuk menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Indonesia. Sementara itu, pendekatan psikologis diharapkan dapat memberikan prespektif dan internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya, adat istiadat yang membentuk budaya politik masyarakat yang pada gilirannya akan berpengaruh pada perilaku politik dalam memilih. (Penulis : Deden Kurniawan).